BAB
V
HUKUM
PERJANJIAN
Contoh kasus Hukum
Perjanjian :
Pada hari ini, Rabu 12
Januari 2007, Kami yang bertandatangan dibawah ini:
1.
PT Asal Sebut, Tbk,
berkedudukan dan beralamat di jalan Sukarame No. 4 Bandar Lampung, yang dalam
hal ini diwakili oleh Drs. John Grisham dalam kapasitasnya selaku Direktur
Utama PT Asal Sebut, Tbk, oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas nama PT
Asal Sebut, Tbk, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA;
2.
PT Mekar Wangi,
berkedudukan dan beralamat di jalan Bumi Manti No.64, Bandar Lampung, yang
dalam hal ini diwakili oleh H. Steven Chow dalam kapasitasnya selaku Presiden
Direktur PT Mekar Wangi, oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas nama PT
Mekar Wangi, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA;
Bahwa pada saat ini Pihak Pertama sebagai (misalnya pemberi
proyek) dan Pihak Kedua sebagai (misal pelaksana proyek) telah berselisih paham
tentang pelaksanaan pembangunan proyek jalan tol bebas hambatan Kampung
Baru-Kampus Unila, sesuai dengan Akta Perjanjian Kerjasama Nomor 2, tanggal 20
Maret 2006 yang dibuat dihadapan Hamzah,SH., MH, Notaris di Bandar Lampung,
dimana didalam perjanjian kerjasama tersebut tidak diatur secara jelas dan
lengkap cara dan tempat penyelesaian sengketa yang timbul akibat dari
perjanjian tersebut.
Bahwa sehubungan dengan perselisihan paham tentang pelaksanaan
proyek jalan tol bebas hambatan Kampung Baru-Kampus Unila sebagaimana tersebut
di atas, bersama ini Pihak Pertama dan Pihak Kedua telah setuju dan sepakat
untuk menyelesaikan pserselisihan paham tersebut melalui (misal Badan Arbitrase
Nasional Indonesia), sesuai dengan peraturan dan prosedur Badan Arbitrasi
Nasional Indonesia yang putusannya bersifat final dan mengikat.
Bahwa selanjutnya Pihak Pertama dan Pihak Kedua telah setuju dan
sepakat bahwa penyelesaian sengketa dihadapi para pihak akan diselesaikan oleh
Majelis Arbiter, dimana Pihak Pertama telah menunjuk Sdr. DR. Wahyu Sasongko,
sebagai arbiter dan Pihak Kedua telah menunjuk Sdr. Ir. Fadli, sebagai arbiter,
selanjutnya untuk Ketua Majelis Arbiter Pihak Pertama dan Pihak Kedua telah
setuju dan sepakat untuk menyerahkannya kepada Ketua Badan Arbitrase Nasional
Indonesia untuk menentukannya.
Demikian perjanjian
arbitrase ini dibuat dan mengikat kedua belah pihak serta dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.
PIHAK PERTAMA PIHAK
KEDUA
Drs. John Grisham H.
Steven Chow
1. Standar Kontrak
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa
Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang
telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah
ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat
terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak
tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan
seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir
tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut
ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif
tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya
dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau
hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang
sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku
sangat berat sebelah. Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan
adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak
seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks,
suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi
suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi
lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.
Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk
kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan
bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para
pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu
perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil
bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi
kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka
buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat
dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan
berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia
ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak
yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak
dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan
dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak
adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan
pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang
dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan
akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang
terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa
batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.
Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan
pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel
yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan
untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas
kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul
eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan
berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).
Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan
berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak
yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat.
Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini
dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas
ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya
tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya
dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum,
dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari
pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi
atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.
Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang
merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh
dan majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas
kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan
yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai
bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan
dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap
praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian
baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1. Pasal 6.5. 1.2.
dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan
peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri
kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun
dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai
kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu
dalam Berita Negara.
Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku
atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya
mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia
mengetahui isinya.
2. Pasal 2.19 sampai
dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan
kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak
karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak
yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan
syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak
dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan
terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu
pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
3. Pasal 2.20
Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai
berikut :
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara
layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut
secara tegas menerimanya.
Untuk menentukan apakah suatu persyaratan
memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan
penyajiannya.
4. Pasal 2.21
berbunyi :dalam hal timbul suatu
pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar,
persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5. Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan
persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk
beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan
perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar
yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah
menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada
pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak
tersebut.
6. UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya
peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku
merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan
oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak
baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang
berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku
dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
2. Macam-macam Perjanjian
Ada berbagai istilah
yang dipergunakan untuk menyebut perjanjian internasional yaitu traktat (treaty),
pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute, charter),
deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus
vivendi dan covenant (Mochtar Kusumaatmaja, 1989).
Perjanjian internasional
adalah kesepakatan antara dua atau lebih subyek hukum internasional (misalnya
negara, lembaga internasional) yang menurut hukum internasional
menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kesepakatan.
Macam-Macam Perjanjian
Internasional (PI)Ada beberapa kriteria
untuk mengelompokkan perjanjian internasional, antara lain berdasarkan: (i)
jumlah pesertanya, (ii) strukturnya, (iii) obyeknya, (iv) cara berlakunya, (v)
instrumen pembentuk perjanjiannya.
(i). Menurut jumlah pesertanya, perjanjian internasional dapat
berupa perjanjian bilateral (bila melibatkan dua negara saja) misalnya
perjanjian RI dengan RRC mengenai Dwikenegaraan pada tahun 1954; atau
multilateral (bila melibatkan lebih dari dua negara) misalnya Konvensi Jenewa
1949 tentang Perlindungan Korban Perang.
(ii). Menurut strukturnya, perjanjian internasional ada yang
bersifat law making artinya mengandung kaidah hukum yang dapat
berlaku bagi semua negara di dunia, misalnya Konvensi Hukum Laut tahun 1958,
Konvensi Wina tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, ada pula yang
bersifat contract, yaitu hanya menimbulkan hak dan kewajiban bagi
para pihak yang membuat perjanjian saja. Misalnya: Perjanjian Ekstradisi 1974
antara Indonesia dan Malaysia.
(iii). Dari segi obyeknya, perjanjian internasional dapat dibagi
menjadi perjanjian yang berisi soal-soal politik dan perjanjian yang berisi
masalah-masalah ekonomi, budaya, dan lain-lain.
(iv). Dari segi cara berlakunya, ada yang bersifat self
executing (berlaku dengan sendirinya), ada pula yang bersifat non
self-executing. Disebut self executing, bila sebuah perjanjian
internasional langsung berlaku setelah diratifikasi oleh negara tertentu. Bila
harus dilakukan perubahan UU terlebih dahulu sebelum berlaku, maka perjanjian
internasional itu disebut non self-executing.
(v). Berdasarkan instrumennya, maka perjanjian internasional (PI)
ada yang berbentuk tertulis, ada pula yang lisan. PI tertulis dituangkan dalam
bentuk formal secara tertulis, antara lain berupa treaty, convention,
agreement, arrangement, charter, covenant, statute, constitution, protocol,
declaration, dan lain-lain. Sedangkan PI lisan diekspresikan melalui
instrumen-instrumen tidak tertulis. Ada berbagai macam PI tidak tertulis,
misalnya:
Perjanjian Internasional
Lisan (international oral agreement)
PI lisan disebut
juga gentlement agreement, biasanya disepakati secara bilateral,
untuk mengatur hal-hal yang tidak terlalu rumit, bersifat tekhnis namun
merupakan materi umum. Misalnya: The London Agreement 1946
yang mengatur distribusi keanggotaan Dewan Keamanan (DK) PBB.
Deklarasi Sepihak (Unilateral
Declaration)
Deklarasi Unilateral
adalah pernyataan suatu negara yang disampaikan wakil negara tersebut yang
berkompeten (presiden, perdana menteri, menteri luar negeri, menteri-menteri
lain) dan ditujukan kepada negara lain. Deklarasi itu dapat menjadi perjanjian
apabila memang mengandung maksud untuk berjanji sehingga menimbulkan kewajiban
pada negara yang berjanji dan hak yang dapat dituntut oleh negara yang menjadi
tujuan deklarasi tsb.
Misalnya: pernyataan
kemerdekaan oleh rakyat Palestina.
Persetujuan Diam-Diam (Tacit Agreement atau Tacit
Consent) atau Persetujuan Tersimpul (Implied Agreement)
Perjanjian ini dibuat
secara tidak tegas artinya adanya PI tersebut dapat diketahui hanya melalui
penyimpulan suatu tingkah laku, baik aktif maupun pasif dari suatu negara atau
subyek hukum internasional lainnya.
3. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut para ahli:
Menurut Mochtar
Kusumaatmaja (1982), dilihat dari praktik yang dilakukan beberapa negara, ada
dua cara pembentukan perjanjian internasional (PI), yaitu:
PI yang dibentuk melalui
tiga tahap, yaitu: perundingan, penandatanganan dan ratifikasi. Ini dilakukan
untuk hal-hal yang sangat penting sehingga perlu persetujuan DPR.
Ada juga yang hanya
melalui dua tahap yaitu perundingan dan penandatanganan. Ini dibuat untuk
mengatur hal-hal yang mendesak namun tidak begitu penting, misalnya perjanjian
perdagangan jangka pendek.
Hal yang hampir sama
disampaikan oleh Pierre Fraymond (1984) yaitu ada dua prosedur pembuatan PI:
Prosedur Normal atau Klasik, yaitu yang menghendaki persetujuan
parlemen, melalui tahap-tahap perundingan (negotiation), penandatanganan
(signature), persetujuan parlemen (the approval of parliament)
dan ratifikasi (ratification).
Prosedur yang
disederhanakan atau simplified procedure, yang tidak mensyaratkan
persetujuan parlemen ataupun ratifikasi karena memerlukan penyelesaian yang
cepat.
Menurut hukum positif Indonesia:
Dalam Pasal 11 UUD 1945
dikatakan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan
negara lain. Hal ini lebih lanjut diatur dalam UURI No. 24 Tahun 2000. Dalam
Pasal 4 dikatakan bahwa pembuatan PI antara pemerintah RI dengan negara lain
dilaksanakan berdasarkan kesepakatan dan itikad baik, berpedoman kepada
kepentingan nasional dan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling
menguntungkan, dan di samping memperhatikan kepentingan nasional juga hukum
internasional yang berlaku.
Menurut UU tersebut,
pembuatan PI dilakukan melalui tahap-tahap: penjajakan, perundingan, perumusan
naskah, penerimaan dan penandatanganan, kemudian diikuti pengesahan apabila
memang disyaratkan oleh PI tersebut. Aksesi adalah istilah yang digunakan
apabila negara yang akan mengesahkan suatu PI tidak turut menandatangani naskah
perjanjian. Pengesahan PI oleh Pemerintah RI dapat dilakukan melalui UU yaitu
apabila isinya sangat penting ataupun melalui Keputusan Presiden.
4. Saat Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat
lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
·
kesempatan penarikan
kembali penawaran;
·
penentuan resiko;
·
saat mulai dihitungnya
jangka waktu kadaluwarsa;
·
menentukan tempat
terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320
jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud
adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat
dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual.
Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau
persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan
memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang
menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai
pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar
pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte).
Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak
dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang
menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang
bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a.
Teori Pernyataan
(Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran
telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada
saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b.
Teori Pengiriman
(Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat
lahirnya kontrak.
Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya
kontrak.
c.
Teori Pengetahuan
(Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban
akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d.
Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat
diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan
tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si
penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.
5. Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian dapat
dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian atau pun batal
demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi
karena:\
v
Adanya suatu pelanggaran
dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan
atau tidak dapat diperbaiki.
v
Pihak pertama melihat adanya
kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak
dapat memenuhi kewajibannya.
v
Terkait resolusi atau
perintah pengadilan
v
Terlibat hokum
v
Tidak lagi memiliki
lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjian
Pelaksanaan perjanjian
Itikad baik dalam Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan
perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan norma-norma
kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual
beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah
diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya.
Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang
telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh
diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Sumber :
http://budiyana.wordpress.com/2007/12/12/contoh-perjanjian-arbitrase/